Sunday, January 12, 2014

Abu Qilabah, Mengajarkan Sabar Dan Syukur Kepada

Allah Shubhanahu wa ta’alla

Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta

salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi

wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

Bagi yang sering mengamati isnad hadits, nama Abu

Qilabah tidaklah asing, karena sering disebutkan dalam isnad-
isnad hadits. Terutama, karena ia seorang perawi yang

meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik. Sahabat ini

merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak

meriwayatkan hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi

wa sallam. Oleh karena itu, nama Abu Qilabah sering disebut

secara berulang-ulang, seiring diulangnya nama Anas bin Malik.

Ibnu Hibban di dalam ats-Tsiqot menyebutkan kisah menakjubkan

tentangnya, yang menunjukan kekuatan keimanan Abu Qibalah

kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla.

Beliau bernama 'Abdullah bin Zaid al Jarmi, salah seorang

dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari al Bashroh.

Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan

sahabat Malik bin al Huwairits Radhiyallahu anhuma. Beliau wafat

3


di Negeri Syam pada tahun 104 Hijriah, yaitu pada masa

kekuasaan Yazid bin 'Abdil-Malik.'Abdullah bin Muhammad

berkata: Aku keluar menuju tepi pantai untuk memantau kawasan

pantai (dari kedatangan musuh). Tatkala tiba di tepi pantai, tiba-
tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat

(di tepi pantai). Di dataran tersebut ada sebuah kemah, yang di

dalamnya terdapat seseorang yang telah buntung kedua tangan

dan kedua kakinya. Pendengarannya telah lemah dan matanya

telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat

baginya, kecuali lisannya. Orang itu berkata, "Ya, Allah. Tunjukilah

aku agar aku bisa memuji -Mu, sehingga aku bisa menunaikan

rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau

anugerahkan kepadaku, dan Engkau sungguh telah melebihkan

aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan."

'Abdullah bin Muhammad berkata,"Demi Allah, aku akan

mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya

bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini. Apakah ia

memahami dan mengetahui yang diucapkannya itu? Ataukah

ucapannya itu ilham yang diberikan kepadanya?" Akupun

mendatangi, lalu mengucapkan salam kepadanya. Kukatakan

kepadanya: "Aku mendengar engkau berkata 'Ya, Allah. Tunjukilah

aku agar aku bisa memuji -Mu, sehingga aku bisa menunaikan

4


rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau

anugerahkan kepadaku, dan Engkau sungguh telah melebihkan

aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan'.

Nikmat manakah yang telah Allah Shubhanahu wa ta’alla

anugerahkan kepadamu, sehingga engkau memuji -Nya atas

nikmat tersebut? Kelebihan apakah yang telah Allah Shubhanahu

wa ta’alla anugerahkan kepadamu, sehingga engkau

menysukurinya?"

Orang itu menjawab: Tidakkah engkau melihat yang telah

dilakukan Robbku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim

halilintar kepadaku sehingga membakar tubuhku, atau

memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku sehingga

menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk

menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan

tubuhku, maka tidaklah semua itu, kecuali semakin membuat aku

bersyukur kepada -Nya, karena Ia telah memberikan kenikmatan

kepadaku berupa lidahku ini.

Namun, wahai hamba Allah Shubhanahu wa ta’ala.

Engkau telah mendatangiku, maka aku perlu bantuanmu. Engkau

telah melihat keadaanku. Aku tidak mampu untuk membantu

diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan. Aku tidak bisa

berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang anak yang selalu

5


melayaniku. Saat tiba waktu sholat, ia mewudhukan aku. Jika aku

lapar, ia menyuapiku. Jika aku haus, ia memberi aku minum.

Namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya, maka tolonglah

engkau mencari kabar tentangnya. Semoga Allah Shubhanahu wa

ta’alla merahmati engkau. Aku berkata,"Demi Allah, tidaklah

seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya,

dan ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah

Shubhanahu wa ta’alla, lantas pahalanya lebih besar dari

seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan

kebutuhan orang yang seperti engkau," maka akupun berjalan

mencari anak orang tersebut, hingga tidak jauh dari tempat itu,

aku sampai di suatu gudukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati anak

orang tersebut telah diterkam dan dimakan binatang buas.

Akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji'un. Aku

berkata,"Bagaimana aku mengabarkan kejadian ini kepada orang

tersebut?"

Tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut,

maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub Alaihissallam. Begitu

aku menemui orang tersebut, maka akupun mengucapkan salam

kepadanya. Dia menjawab salamku dan bertanya,"Bukankah

engkau orang yang tadi menemuiku?" Aku menjawab,"Benar."

6


Ia bertanya,"Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk

membantuku?"

Akupun berkata kepadanya,"Engkau lebih mulia di sisi Allah

Shubhanahu wa ta’alla ataukah Nabi Ayyub Alaihissallam ?"

Ia menjawab,"Tentu Nabi Ayyub Alaihissallam."

Aku bertanya,"Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah

Shubhanahu wa ta’alla kepada Nabi Ayyub? Bukankah -Dia telah

mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?"

Orang itu menjawab,"Tentu aku tahu."

Aku bertanya,"Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan

tersebut?"

Ia menjawab,"Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah

Shubhanahu wa ta’alla."

Aku berkata,"Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib

kerabatnya dan sahabat-sahabatnya." Ia menimpali,"Benar."

Aku bertanya,"Bagaimanakah sikapnya?" Ia menjawab,"Ia

bersabar, bersyukur dan memuji Allah Shubhanahu wa ta’alla."

Aku berkata,"Tidak hanya itu, Allah Shubhanahu wa ta’alla

menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang

yang lewat di jalan, tahukah engkau tentang hal itu?" Ia

menjawab,"Iya."

Aku bertanya,"Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub?"

7


Ia menjawab,"Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah

Shubhanahu wa ta’alla. Langsung saja jelaskan maksudmu.

Semoga -Dia merahmatimu."

Aku (pun) berkata,"Sesungguhnya putramu telah aku temukan di

antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan

dimakan binatang buas. Semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla

melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau."

Orang itu berkata,"Segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla

yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat

kepada -Nya, lalu Ia menyiksanya dengan api neraka," kemudian

ia berkata,"Inna lillah wa inna ilaihi roji'un," lalu ia menarik nafas

yang panjang, kemudian meninggal dunia. Aku berkata,"Inna lillah

wa inna ilaihi roji'un."

Besar musibahku, orang seperti ini, jika aku biarkan begitu saja,

maka akan dimakan binatang buas. Dan jika aku hanya duduk,

maka aku tidak bisa melakukan apa-apa

Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya,

dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis. Tiba-tiba

datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku: "Wahai

'Abdullah. Ada apa denganmu? Apa yang telah terjadi?" Akupun

menceritakan kepada mereka yang telah aku alami. Lalu mereka

berkata,"Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!"


Akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur

mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka

berkata: "Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal

yang diharamkan –Nya. Demi Allah, tubuhnya selalu sujud tatkala

orang-orang dalam keadaan tidur".

Aku bertanya kepada mereka: "Siapakah orang ini. Semoga Allah

Shubhanahu wa ta’alla merahmati kalian?" Mereka

menjawab,"Abu Qilabah al Jarmi sahabat Ibnu 'Abbas. Dia sangat

cinta kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Nabi Muhammad

Shalallahu ‘alaihi wa sallam," lalu kamipun memandikan dan

mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami

menyolati dan menguburkannya.

Setelah usai merekapun berpaling pulang, dan akupun

pergi menuju pos penjagaanku di daerah perbatasan. Tatkala

malam hari tiba, akupun tidur. Aku melihat di dalam mimpi, ia

berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain

dari kain surga sambil membaca firman Allah Shubhanahu wa

ta’alla:


"Salamun 'alaikum bima shabartum" [keselamatan bagi kalian (dengan masuk

ke dalam surga) karena kesabaran kalian], maka alangkah baiknya tempat

kesudahan itu. [ar-Ra'd/13:24].

Aku bertanya kepadanya,"Bukankah engkau adalah orang yang

aku temui?"

Ia menjawab,"Benar."

Aku berkata,"Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua?"

Ia menjawab,"Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla

menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi, yang tidak

bisa diperoleh, kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa

bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang, dan

tenteram bersama dengan rasa takut kepada -Nya, baik dalam

keadaan sendirian maupun dalam keadaan di depan khalayak

ramai."

(Diterjemahkan oleh Abu Abdil-Muhsin, dari Kitab ats-Tsiqot, karya Ibnu

Hibban. Tahqiq as-Sayyid Syarofuddin Ahmad, Penerbit Darul Fikr, Jilid 5

halaman 2-5)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007.

Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi

Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

10


_______

Footnote

[1] Hal ini, karena biasanya daerah perbatasan jauh dari keramaian

manusia. Dan kemungkinan 'Abdullah tidak membawa peralatan untuk

menguburkan orang tersebut. Sehingga, jika ia hendak pergi mencari alat

untuk menguburkan orang tersebut, maka bisa saja datang binatang

buas memakannya. Wallahu a'lam.

GAMBAR PRODI UGM